SKK Migas dibiayai APBN
Industri migas pelan-pelan bisa hancur
Nanang Wijayanto
Rabu, 12 Juni 2013 − 18:53 WIB
Ilustrasi/Ist
Sindonews.com - Director of Indonesia Center for Green Economy, Darmawan Prasodjo menilai, silakan jika biaya operasional SKK Migas diambil dari APBN. Namun, biaya operasional termasuk gaji pegawai jika disamaratakan dengan pegawai negeri sipil (PNS) pihaknya khawatir hal itu justru secara pelan-pelan akan menghancurkan industri migas nasional.
"Nanti yang punya kualifikasi tinggi yang memang laku di industri migas akan keluar semua. Tapi dari manapun dananya harus punya dana yang cukup biar tetap profesional," kata dia.
Dia menjelaskan, SKK Migas merupakan regulator yang berfungsi mengawasi kontraktor kontrak kerjasama (KKKS). Artinya, SKK Migas merupakan lembaga yang ditugasi oleh negara untuk mereview teknologi di sektor hulu migas.
"Me-review apakah teknologi tepat atau tidak apakah teknologi cuma sekedar testing saja. Itu diperlukan ahli atau technical skill yang cukup tinggi sehingga memerlukan kapasitas yang lebih dari ahli yang lain," kata dia.
Dharmawan juga khawatir jika penyamarataan tersebut nantinya justru menggangu profesionalisme kerja mereka. " Karena masalah pendanaan adalah masalah hukum monggo. Tapi dari sudut pandang ekonomi harus diperhatikan, " tutup dia.
Sebelumnya, Ketua BPK RI Hadi Purnomo mengatakan, sejak dibentuk pada 2002, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) yang pada 2012 berganti nama menjadi SKK Migas, dibiayai dari penggunaan langsung penerimaan migas.
Hal itu, kata dia, bertentangan dengan Undang Undang Keuangan Negara Pasal 3 ayat (5). "Pemerintah membiayai BP Migas dari penggunanaan langsung penerimaan migas tanpa melalui APBN," katanya.
Dia menyebut jumlah pemerimaan negara dari sektor hulu mugas yang digunakan langsung tanpa melalui mekanisme APBN untuk tahun 2012 sebesar USD34,93 miliar.
Namun hingga saat ini pemerintah belum menetapkan status pengelolaan keuangan SKK Migas dan pembayaran untuk biaya operasional selama tahun 2012. Sehingga BPK meminta pemerintah segera mengusulkan undang undang yang mengatur tentang fungsi dan tugas SKK Migas sesuai putusan Mahkamah Konstitusi.
Padahal, BPK sudah menyarankan dimasukkannya pembiayaan BP Migas dalam APBN sejak 2005. Namun, saran dari BPK belum dipatuhi. Padahal, Peraturan Menteri Keuangan sudah menyebutkan pembiayaan BP Migas atau lembaga sejenis harus masuk dalam APBN dan diatur dalam APBN.
(
gpr)